kau tuangkan resah di telinga kananku,
di bawah langit hitam berbintang,
dalam hangatnya kopi sajian warung,
selarut cerita gundahmu,
semilir angin tak sanggup tiup aralmu,
pikirmu menjadi aral langkah kecilmu,
pikirmu menjadi aral langkah kecilmu,
keinginan menjadi asa dirimu.
Kau ulang cerita masa kecilmu,
Kau ulang cerita masa kecilmu,
cerita tentang si kecil yang terbuang,
ibu yang meninggal akibat pendarahan waktu melahirkanmu,
dan bapak yang mati ditabrak truk di jalan raya ketika mengayuh becak.
“Kenapa kau diam?”
“Kenapa kau diam?”
tanyamu padaku yang termangu akan kisahmu itu.
Maaf, aku banyak bicara ya?
Harus bagaimana lagi,
aku tak punya siapa-siapa,
kau tadi sudah dengar ceritaku kan?
Aku, anak terbuang di kota ini.
Nasi bungkus, kau tahu...?
ku makan bersama penarik becak yang mangkal di stasiun ini,
yang ku anggap sebagai rumah istirahatku,
tempatku merebahkan seluruh lelah,
atas kerja kerasku sepanjang siang.
Kau tahu apa itu sengsara?
aku lebih tahu rasa sengsara daripada kau,
jadi jangan bicara soal rasa sengsara padaku,
tanyalah pada ibumu,
waktu kulitmu masih merah,
berapa lama ibumu meninggalkanmu?
tak pernah kan..!
aku hanya terdiam mendengarkan celotehmu,
bertemankan sajian kopi warung,
dan sepiring pisang goreng yang sudah tidak hangat lagi,
juga kepulan asap rokok yang terus membumbung tingi.
Malam memang tak berkata,
cuma ceritamu yang mengalir deras,
seiring sajian kopi yang telah terkuras,
hanya sisakan ampas didalam gelas,
yang mengeras seperti perjalan hidupmu yang keras.
Jangan pergi...!
tolong duduklah denganku,
kawani aku tidur di kursi kayu putih ini,
ini kasurku,
stasiun ini rumahku,
stasiun ini istanaku,
dan cita-cita ku ada di kursi ini.
Aku hanya tersenyum mendengar pintamu,
lalu berlalu pulang menuju istanaku,
dengan membawa kenangan kisah sengsaramu,
kisah sengsara anak yang terbuang.....
i like this...
BalasHapus